Pada tahun 2002, sehari sebelum Bom Bali, empat orang dari Rijksakademie berangkat dari Amsterdam ke Douala. Douala adalah kota kedua di Kamerun setelah Yaounde, ibukota yang merupakan pusat pemerintahannya. Douala adalah kota bisnis. Atas sponsor Rijksakademie dan RAIN, kami bisa berangkat untuk melaksanakan proyek: Bessengue City. Kami adalah Goddy Leye (Kamerun), Jesus Maria Palomino (Spanyol), James Beckett (UK/Afrika Selatan), dan saya.
Proyek ini inisiatifnya Goddy karena dia dari Douala. Jesus berencana untuk membuat sebuah shelter di tengah kampung kumuh di jantung kota, yaitu daerah Lembah Bessengue. James membawa beberapa peralatan elektronik untuk mendirikan sebuah radio gelap dengan radius 1 km. Goddy memimpin proyek dan akan membuat film dengan melibatkan penduduk lokal. Saya sendiri bertugas ngupdate semua ke internet tiap hari, dan bikin sebuah proyek Bandung-Douala, lewat internet juga.
Douala itu kota pantai, ada dermaga besar dan pelabuhan. Terletak di ketiak Barat benua Afrika yang gede banget. Kamerun adalah negara tropis, jadi banyak pohon pisang. Betapa gembiranya saya melihat pohon pisang waktu itu, dan ternyata orang Kamerun itu gila pisang. Pisangnya banyak banget dan selain dikonsumsi sendiri juga dieksport ke luar negeri. Orang sana makan seafood barbeque pakai pisang bakar (tapi pisangnya nggak terlalu manis dan agak keras, mirip umbi). Enak juga. Inilah negara pisang yang lembab dan panas!
Sesudah berangkat subuh dan nyasar-nyasar di bandara de Gaulle, Paris, kami akhirnya sampai di bandara Douala. Di sini nggak ada AC jadi kita boleh merokok di mana aja. Masuk bandara pas mau ambil tas, situasinya udah kayak di Kota Kembang tempat orang Bandung pada beli DVD bajakan. Siapa aja boleh masuk, supir taksi, kuli, penjemput, calo dan entah siapa lagi. Tas Jesus dibongkar custom untuk diperiksa. Rombongan kami langsung menarik perhatian dan kami dikerumunin orang, ditanya ini-itu, kami harus sigap karena barang-barang kami mau langsung dibawa ke taksi segala. Lalu polisi bandara datang, lalu bilang kami harus bayar pajak, karena James bawa antena dibungkus plastik. Nggak ada yang mau bayar, kami bilang ini antena bekas (padahal baru) untuk bikin proyek seni. Akhirnya nggak jadi bayar, Goddy yang ngomong sama mereka.
Waktu akhirnya kami masuk ke dalam taksi, supir-supir taksi pada berantem memperebutkan kami. Tapi dua buah taksi yang dicarter langsung cabut sesudah barang-barang kami masuk dan tibalah kami di highway kota Douala yang ternyata bolong-bolong jalannya. Capek tapi senang, saya menikmati perjalanan sekitar 20 menit dari bandara ke hotel. Kota ini seperti kota tua, kayak liat foto hitam-putih, banyak bagian yang nggak terawat. Yah, akan ada banyak waktu untuk liat-liat kota ini dari dekat. Kami punya waktu sebulan untuk tinggal di Kamerun.
Kami nginep di Foyer du Marin, sebuah hotel yang didirikan Asosiasi Pelaut Protestan Jerman, tapi yang punyanya ibu-ibu gendut orang Belanda. Hotel ini kecil, kamarnya paling cuma sepuluh biji. Saya, James dan Jesus tinggal di satu kamar sementara Goddy sekamar dengan Sandrine, pacarnya dari Perancis, dan Sifu, anaknya yang bandel kayak setan kecil (kayaknya baru 6 tahun gitu). Di hotel ini ada gazebo kecil, ada kolam renang, ada perpustakaan yang sekaligus jadi tempat maen bilyard. Pelayan-pelayannya judes-judes dan kayak nggak respek sama tamu, pasti karena gajinya kecil. Tiap hari Sabtu ada live music, mereka memainkan balafons, alat musik seperti kolintang yang bisa disandang pakai tali. Hidangannya cuman sosis Jerman, rasanya nggak seenak braatwurst Frankfurt tapi lebih enak daripada sosis Febo. 😀
Selama tiga minggu nginep di hotel ini kami ketemu banyak pelaut dari Jerman, malah sempat banyak orang-orang Asia, ternyata mereka adalah pelaut-pelaut Filipina yang terkenal tangguh. Mereka kerjanya duduk-duduk, minum kopi, berenang pelan-pelan berjam-jam, baca buku, maen bilyard, atau ngobrol-ngobrol. Di sebelah hotel ada gereja dan kami sering denger mereka nyanyi-nyanyi.
Hotel ini sebenernya biasa aja, malah agak kumuh. AC di kamar kami suaranya kenceng banget dan nggak terlalu dingin. Toiletnya agak ancur dan pernah ada kecoanya. Tempat tidurnya lumayan sih, laundry servicenya sembarangan. T-shirt kami pada ancur karena semua dikasih pemutih, baju berwarna nggak dipisah. Nyamuk di sini aneh, ukurannya sih sama, tapi pas ngigit bentolnya kecil, terus keras, gatelnya nggak ilang-ilang sampai berhari-hari. ‘Tempat apa ini?’ saya pikir, tapi ternyata semua ketidaknyamanan ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan tempat kami akan melaksanakan proyek kami: Lembah Bessengue.
*) gambar: Hotel Foyer du Marin di Douala.
(bersambung)