Blog for visual artists, art students & enthusiast

March 29, 2005

Bessengue City, bagian I

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 5:33 pm

Pada tahun 2002, sehari sebelum Bom Bali, empat orang dari Rijksakademie berangkat dari Amsterdam ke Douala. Douala adalah kota kedua di Kamerun setelah Yaounde, ibukota yang merupakan pusat pemerintahannya. Douala adalah kota bisnis. Atas sponsor Rijksakademie dan RAIN, kami bisa berangkat untuk melaksanakan proyek: Bessengue City. Kami adalah Goddy Leye (Kamerun), Jesus Maria Palomino (Spanyol), James Beckett (UK/Afrika Selatan), dan saya.

Proyek ini inisiatifnya Goddy karena dia dari Douala. Jesus berencana untuk membuat sebuah shelter di tengah kampung kumuh di jantung kota, yaitu daerah Lembah Bessengue. James membawa beberapa peralatan elektronik untuk mendirikan sebuah radio gelap dengan radius 1 km. Goddy memimpin proyek dan akan membuat film dengan melibatkan penduduk lokal. Saya sendiri bertugas ngupdate semua ke internet tiap hari, dan bikin sebuah proyek Bandung-Douala, lewat internet juga.

Douala itu kota pantai, ada dermaga besar dan pelabuhan. Terletak di ketiak Barat benua Afrika yang gede banget. Kamerun adalah negara tropis, jadi banyak pohon pisang. Betapa gembiranya saya melihat pohon pisang waktu itu, dan ternyata orang Kamerun itu gila pisang. Pisangnya banyak banget dan selain dikonsumsi sendiri juga dieksport ke luar negeri. Orang sana makan seafood barbeque pakai pisang bakar (tapi pisangnya nggak terlalu manis dan agak keras, mirip umbi). Enak juga. Inilah negara pisang yang lembab dan panas!

Sesudah berangkat subuh dan nyasar-nyasar di bandara de Gaulle, Paris, kami akhirnya sampai di bandara Douala. Di sini nggak ada AC jadi kita boleh merokok di mana aja. Masuk bandara pas mau ambil tas, situasinya udah kayak di Kota Kembang tempat orang Bandung pada beli DVD bajakan. Siapa aja boleh masuk, supir taksi, kuli, penjemput, calo dan entah siapa lagi. Tas Jesus dibongkar custom untuk diperiksa. Rombongan kami langsung menarik perhatian dan kami dikerumunin orang, ditanya ini-itu, kami harus sigap karena barang-barang kami mau langsung dibawa ke taksi segala. Lalu polisi bandara datang, lalu bilang kami harus bayar pajak, karena James bawa antena dibungkus plastik. Nggak ada yang mau bayar, kami bilang ini antena bekas (padahal baru) untuk bikin proyek seni. Akhirnya nggak jadi bayar, Goddy yang ngomong sama mereka.

Waktu akhirnya kami masuk ke dalam taksi, supir-supir taksi pada berantem memperebutkan kami. Tapi dua buah taksi yang dicarter langsung cabut sesudah barang-barang kami masuk dan tibalah kami di highway kota Douala yang ternyata bolong-bolong jalannya. Capek tapi senang, saya menikmati perjalanan sekitar 20 menit dari bandara ke hotel. Kota ini seperti kota tua, kayak liat foto hitam-putih, banyak bagian yang nggak terawat. Yah, akan ada banyak waktu untuk liat-liat kota ini dari dekat. Kami punya waktu sebulan untuk tinggal di Kamerun.

Kami nginep di Foyer du Marin, sebuah hotel yang didirikan Asosiasi Pelaut Protestan Jerman, tapi yang punyanya ibu-ibu gendut orang Belanda. Hotel ini kecil, kamarnya paling cuma sepuluh biji. Saya, James dan Jesus tinggal di satu kamar sementara Goddy sekamar dengan Sandrine, pacarnya dari Perancis, dan Sifu, anaknya yang bandel kayak setan kecil (kayaknya baru 6 tahun gitu). Di hotel ini ada gazebo kecil, ada kolam renang, ada perpustakaan yang sekaligus jadi tempat maen bilyard. Pelayan-pelayannya judes-judes dan kayak nggak respek sama tamu, pasti karena gajinya kecil. Tiap hari Sabtu ada live music, mereka memainkan balafons, alat musik seperti kolintang yang bisa disandang pakai tali. Hidangannya cuman sosis Jerman, rasanya nggak seenak braatwurst Frankfurt tapi lebih enak daripada sosis Febo. 😀

Selama tiga minggu nginep di hotel ini kami ketemu banyak pelaut dari Jerman, malah sempat banyak orang-orang Asia, ternyata mereka adalah pelaut-pelaut Filipina yang terkenal tangguh. Mereka kerjanya duduk-duduk, minum kopi, berenang pelan-pelan berjam-jam, baca buku, maen bilyard, atau ngobrol-ngobrol. Di sebelah hotel ada gereja dan kami sering denger mereka nyanyi-nyanyi.

Hotel ini sebenernya biasa aja, malah agak kumuh. AC di kamar kami suaranya kenceng banget dan nggak terlalu dingin. Toiletnya agak ancur dan pernah ada kecoanya. Tempat tidurnya lumayan sih, laundry servicenya sembarangan. T-shirt kami pada ancur karena semua dikasih pemutih, baju berwarna nggak dipisah. Nyamuk di sini aneh, ukurannya sih sama, tapi pas ngigit bentolnya kecil, terus keras, gatelnya nggak ilang-ilang sampai berhari-hari. ‘Tempat apa ini?’ saya pikir, tapi ternyata semua ketidaknyamanan ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan tempat kami akan melaksanakan proyek kami: Lembah Bessengue.

*) gambar: Hotel Foyer du Marin di Douala.

(bersambung)

March 28, 2005

Opini

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 3:21 pm

Semakin sering dan semakin panjang-lebar seseorang membicarakan seninya, biasanya semakin mandeg pula proses kreasinya. Kalau kita sudah benar-benar asyik dalam proses kreasi, kita nggak sempat ngomongin apa-apa lagi. Yang kita pikirin cuma seni kita doang. 😀

March 26, 2005

Kenapa ikut residency?

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 5:36 pm

Saya sempat dua kali bicara soal residency di Bandung, satu kali di kelas Manajemen Seni asuhan Pak Rizky Zaelani, lalu di sebuah pameran mahasiswa di Padi Art Ground baru-baru ini. Pada akhir tahun 2003 saya juga ikut bicara dalam sebuah simposium kecil mengenai art residency di Tokyo. Sekarang, lepas dari residency itu duitnya dateng dari mana, atau agenda politiknya apa, kita perlu bertanya, kenapa ikut residency?

Residency cocok banget untuk seniman muda yang senang mencari pengalaman di tempat baru, memiliki visi untuk membangun jaringan, liat pameran bagus, liat karya-karya bagus, dan punya teman-teman tempat kita belajar. Kalau Anda baru lulus dari kuliah, itu adalah waktu yang tepat untuk memulai residency. Saya kenal beberapa orang yang bahkan sejak mahasiswa sudah mulai aktif di program internasional, ini malah lebih keren lagi. Nah, dunia seni rupa itu luas tetapi bila kita melihatnya sebagai karir, sebenarnya ada jalur-jalurnya. Begitu kita memilih seni rupa sebagai karir, maka dunia terbentang luas untuk dijelajahi. Residency program adalah salah satu jalur menuju ke sana.

Practising artist selalu membutuhkan stimulasi, apa saja dan kapan saja, dan menurut saya, salah satu stimulasi terbesar adalah meninggalkan tempat tinggal dan pergi ke sebuah tempat baru. Bayangkan kita ketemu orang-orang yang biasanya cuma dilihat di televisi, yang ngomongnya sulit kita mengerti, yang budayanya aneh banget, pola hidupnya lain sekali dengan kita. Residency program menyediakan sebuah stimulasi menyeluruh karena hidup kita seperti komputer direstart, begitu bangun tiba-tiba ada di tempat yang aneh dan pelan-pelan kita mulai belajar menyesuaikan diri. Apakah prosesnya menyenangkan? Rata-rata ya, tapi nggak selalu. Tempat paling absurd yang pernah saya kunjungi adalah Kamerun, di Afrika Tengah. Tapi waktu itu bukan residency, itu proyek selama sebulan dan kami satu tim hampir gila. Nanti akan saya post di tulisan lain. 🙂

Karena negara yang menyediakan subsidi penuh untuk program residency biasanya adalah negara maju, maka di sana infrastrukturnya juga maju. Artinya, sekolah-sekolah seni rupanya keren-keren, museumnya canggih-canggih, perpustakaannya lengkap dan kita dengan mudah bisa lihat pameran karya-karya seniman ‘superstar’, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Apresiasi yang seperti ini bagus banget karena kita dapat informasi tangan pertama, kita bukan hanya mendengar atau membaca tetapi melihat dan mengalami sekaligus. Memiliki kawan-kawan satu minat pun cukup menyenangkan karena kita, kalau cs, bisa belajar banyak dari mereka. Kesempatan-kesempatan yang tidak kita tahu sebelumnya bisa kita dapat, info-info yang nggak dipublish di website bisa kita terima.

Inti dari program residency pada akhirnya kan membuat sebuah karya atau project yang berkaitan dengan pengalaman selama tinggal di tempat tersebut. Ini juga bisa jadi modal untuk berkarya selanjutnya. Nggak usah jauh-jauh, tapi mengumpulkan gambar dengan digital camera pun, bila dilakukan intensif selama beberapa lama, bisa jadi image bank yang bisa diolah kapan saja kita mau, bahkan jauh setelah program residency berlangsung. Jadi kesempatan melakukan residency patut disambut sebaik mungkin, pengalaman diserap manis-pahitnya, cari teman yang asyik dan dapat info-info menarik. Ini kan proses memperkaya diri, sekaligus memperlancar karir.

Strategi setiap seniman beda-beda dalam mewujudkan karirnya, tapi biasanya residency termasuk yang cukup diperhitungkan selain dari ikut pameran yang menarik. Tulisan ini nggak berusaha untuk meyakinkan Anda bahwa kalau ikut residency Anda pasti sukses. Buktinya saya masih punya waktu untuk nulis blog, kalo udah sukses mungkin saya nggak akan nulis-nulis ginian lagi, kali. 😀 Kalo mikirin sukses sih nggak akan ada habisnya, tapi residency adalah salah satu hal nyata untuk diwujudkan karena jalannya ada. Residency adalah kesempatan untuk mengembangkan diri dan membangun karir di dunia seni rupa melalui pengalaman langsung, artistic research, sosialisasi, dan tentu saja, kompetisi. Menggairahkan, bukan? 😉

March 22, 2005

The Cable Factory

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 9:22 pm

Saya hampir lupa residency yang satu ini, padahal ini termasuk dalam program Aschberg. Soalnya program ini hanya untuk orang India dan Brasil. HIAP adalah Helsinki International Artist Programme, sebuah organisasi yang menjalankan program residency di Cable Factory, sebuah bekas pabrik tua raksasa yang direnovasi tahun 1992 menjadi sebuah gedung pusat budaya. Program ini berlangsung tiga bulan dan semua dibayarin kecuali asuransi kesehatan.

Menurut saya, walaupun infra-struktur kotanya bagus (termasuk untuk budaya), Helsinki adalah kota yang nggak terlalu menarik (dibandingkan Amsterdam), tetapi pecinta kegiatan outdoor kayaknya bisa menikmati alam yang asri dan terawat kalo jalan-jalan ke Utara. Finlandia itu dingin banget (tapi basah) dan dingin yang kayak gitu menimbulkan depresi dan alkoholisme. Orang-orangnya agak kaku dan tertutup tapi nggak xenophobic, kalo udah kenal sih baik. Hampir semua bisa bahasa Inggris, jadi nggak susah komunikasi. Harga barang-barang mahal untuk kualitas tidak istimewa dan transportasi juga mahal. Kota ini kesannya murung dan kaku, banyak bangunan raksasa tua, tapi tamannya bagus-bagus dan dermaganya okelah (tempat turis). Tapi kalo saya sih, tiga bulan di sini kayaknya bosen. Kotanya kayaknya gitu-gitu aja. Ceweknya juga nggak cakep-cakep amat dibandingkan di Polandia, tapi kata Moro lebih baik daripada di Jerman.

Cable Factory sendiri walaupun skalanya besar tetapi amat aktif dan fasilitasnya pun memadai. Ada lima sekolah seni di sini, tiga buah museum, dua stasiun radio, banyak studio, kantor, gudang, toilet dilengkapi shower, mereka bahkan punya gym. Tempat ini bukan hanya untuk seni rupa saja tapi untuk bidang-bidang seni lain juga. Festival musik misalnya, sering diadakan di tempat ini, tak perlu dikatakan lagi pameran seni rupa dan pertunjukan. The Cable Factory menerima 10 sampai 12 orang seniman setiap tahunnya.

Studio rata-rata berukuran sedang, seniman berkarya di situ dan tidur di situ. Mandinya di shower untuk umum di lantai-lantai tertentu. Di sekelilingnya ada pabrik gede, gedung PLN, dan laut, kita bisa liat-liat kapal di kejauhan. Di lantai dasar ada kafe dengan satu komputer internet gratis dan buka sampai sore kalo gak salah. Warung ada satu di luar dan ada sebuah restoran pasta yang pemiliknya ramah, orang Bangladesh, dan seafood pasta-nya istimewa.

Walaupun seniman Indonesia tidak bisa melamar, tapi banyak seniman Indonesia yang berpengalaman kerja di sana karena setiap kegiatan seni rupa yang berhubungan dengan kota Helsinki biasanya diorganisasi juga oleh HIAP, mereka punya cukup fasilitas untuk menampung tiap seniman yang datang. Isa Perkasa, Krisna Murti adalah dua di antaranya, yang lain ada tapi saya lupa. Saya sendiri berkesempatan mengunjungi tempat ini sebulan bersama Gustaff, Moro dan Pumpung, pada bulan Juli-Agustus 2004, pada saat kami melakukan Bandung-Helsinki: City Surgery. Ini proyek yang kami buat sebagai bagian dari ISEA2004. Panitia ISEA langsung menyerahkan kami pada HIAP untuk diberi studio di gedungnya. Untungnya, kami tidak perlu nginep di studio tapi dapat akomodasi dari Academy of Fine Arts Helsinki, yaitu sebuah apartemen tua persis di tengah kota, dekat stasiun kereta api.

Tulisan ini mungkin nggak ada gunanya secara langsung untuk seniman Indonesia yang ingin ikut program residency di sana, tapi program ke Helsinki selalu ada, dari mana saja. Jadi siapa tahu Anda berkesempatan untuk berkunjung ke Helsinki untuk proyek seni, mungkin sekali Anda akan menuju The Cable Factory. Kalau waktunya tiga bulan, barangkali Anda mau ikutan latihan beladiri karena mereka punya kelas di sana. Lumayan, buat pegangan. 😀

March 21, 2005

Opini

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 7:02 pm

Negara yang seksnya bebas biasanya seninya bagus.

Apa itu Residency Program?

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 6:02 pm

Sejauh ini tulisan-tulisan saya banyak menginformasikan kesempatan ikut residency program. Tetapi, apa itu residency program? Bagi Anda yang kurang atau belum familiar dengan istilah ini, saya tulis sedikit. Residency program adalah program untuk tinggal dan bekerja di suatu tempat tertentu, selama waktu tertentu. Program ini bukan hanya untuk visual artist saja. Misalnya, Unesco-Aschberg memiliki program residency untuk creative writing, musik, tari, dan seni pertunjukan. Nah, kenapa harus ‘tinggal’ di ‘situ’ untuk bikin karya?

Kadang-kadang, untuk suatu kegiatan pameran seni rupa misalnya, seorang visual artist diminta untuk menyiapkan sebuah karya khusus dan proses pembuatannya mengharuskan dia tinggal di suatu tempat, entah berapa lama, tapi biasanya maksimal satu bulan. Ini beda dengan residency. Residency bukan cuma soal menetap sementara aja tapi juga ‘mengalami’ keadaan yang berbeda di tempat baru itu. Jadi tinggal di tempat yang baru diharapkan jadi stimulasi untuk bikin karya juga. Arcus Project di Jepang, misalnya, meminta bukan hanya tinggal dan mengalami, tetapi juga ‘berbagi’ dengan komunitas lokal. Untuk alasan ini, seorang partisipan program residency ya harus tinggal di tempat itu.

Program ini sudah ada cukup lama. Yang tertua yang pernah saya dengar termasuk di Australia, tahun 1970an. Rijksakademie di Belanda umurnya sudah lebih dari 100 tahun, tapi dia baru buka residency program kalo nggak salah tahun 1980an. Sekarang, kalau Anda liat http://www.resartis.org, Anda akan lihat banyak sekali program residency diadakan di seluruh dunia, bahkan di Timur Tengah dan Amerika Selatan. Kenapa programnya jadi banyak begini, ya?

Di negara-negara maju, program ini selalu mudah ditemui bahkan mereka mau bayarin partisipannya. Saya nggak pernah keluar duit untuk program yang pernah saya ikuti, lagian duit dari mana? :p Buat mereka, import dan export budaya itu biasanya jadi bagian dari agenda politik juga karena itu kan penting dalam jangka panjang. Mereka juga nginvest di budaya. Rijksakademie, misalnya, dapat dana besar dari Kementrian Luar Negeri Kerajaan Belanda (tapi itu bukan satu-satunya).

Selain dari pemerintah, swasta juga nyumbang uang untuk program seperti ini. Di beberapa negara, ada kebijakan seperti: perusahaan swasta akan dapat korting pajak kalau nyumbang untuk kemanusiaan, pendidikan, dll., termasuk juga budaya. Buat perusahaan besar, ini bagus soalnya pajak dikorting dan (yayasan) perusahaan bisa bikin citra yang bagus pada publik karena peduli. Tidak bisa dipungkiri, di tingkat atas, ada juga duit-duit cucian yang asalnya entah dari mana tapi terus dipake untuk kegiatan mulia ini. Seperti kata pepatah, “Di balik uang yang banyak pasti ada kejahatan.” Itu mah sudah lajim… 🙂

Tetapi nggak hanya negara-negara maju, negara-negara blangsak juga bisa aja punya program residency. Hanya biasanya kalau organisasinya nggak punya sponsor, mereka hanya menyediakan program dan fasilitas aja. Seniman harus bayar sendiri, atau cari sponsor kalo mau ikut program ini. Nah, yang begini banyak banget. Kalo yang ini biasanya semata-mata disebabkan oleh kesadaran budaya, karena kalau kegiatan budaya sebuah negara import-exportnya balance biasanya perkembangannya lebih sehat.

Itulah sekilas mengenai program residency, mungkin di tulisan lain bagus juga kalau saya tulis, mengapa ikut program seperti ini. Sampai nanti, ya. 🙂

March 20, 2005

Youkobo Art Space, Tokyo

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 7:05 am

Ada residency untuk seniman internasional di Tsuginami, Tokyo. Namanya Youkobo Art Space. Menyediakan tempat tinggal, studio dan ruang pamer. Program residency pada saat yang bersamaan maksimal untuk 2 orang seniman. Aplikasi diterima paling lambat akhir bulan Juni untuk masa kerja di tahun berikutnya. Sayangnya, program ini tanpa sponsor jadi kalau keterima harus cari sponsor sendiri. Masa kerja maksimum 6 bulan, diharapkan bisa berinteraksi dengan penduduk lokal tapi kalo pun tidak, bisa dinegosiasikan. Lihat websitenya di sini.

Berita Arcus Project, Jepang

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 6:49 am

Now we are releasing the open call for the ARCUS Project 2005 artist-in-residence program. We are very much looking forward to the applications from challenging young artists. Also, we would appreciate very much if you could transfer the following information to those who might be interested in our program.

If you have any question, please do not hesitate to contact us at any time. Thank you, in advance, for your understanding and support.

Sincerely,
ARCUS Project

We are now accepting application for the artist-in-residence program in 2005.Could you please read the guidelines below carefully and download the application form at the bottom of the Web page.

[Application Guideline and Application Form]
[Application Deadline] April 9, 2005
*Application via E-mail is not valid.
[For inquiries] *Please send fax or email to the following.

ARCUS Studio (Closed on Sundays, Mondays, and national holidays)
[Attn.] Yoko Nameki / Keiko Suzuki
[Tel / Fax] +81-297-46-2600 E-mail: info@arcus-project.com
[URL] http://www.arcus-project.com
[Office Hour] 09:15-18:00

+++++++++++++++++++++++++++++
A R C U S
Artist in Residence – IBARAKI
[Director] Aki Hoashi [Administration Staff] Yoko Nameki / Keiko Suzuki

March 13, 2005

Unesco-Aschberg

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 6:55 am

Tahun lalu, lamaran saya untuk Unesco-Aschberg ditolak. Saya sedih sekali sampe nangis (sedikit). Saya melamar ke Gertrude Space di Melbourne. Kata teman tempatnya asyik dan ini residency penting di Australia. Lagian di Melbourne, kata teman yang lain, restorannya enak-enak, kotanya enak ditinggali dan marijuana ditoleransi. Proyek yang saya ajukan adalah ‘imigran dan kota’. Saya mau bikin proyek foto generasi (minimal) kedua dari imigran yang datang ke Australia, dari mana saja. Ternyata, yang terpilih masuk Gertrude adalah seniman dari Pakistan: Sabeen Raja.

Sabeen adalah pelukis miniatur, saya tahu sedikit tentang jenis lukisan ini karena ada kawan dari Pakistan yang juga mengerjakan karya seperti ini. Tekniknya tradisional dan rigid, mereka bahkan bikin kertas khusus yang harus digosok berjam-jam, kalau perlu mereka pakai kuas bulu no. 000 yang bulunya cuma satu, tintanya bikin sendiri, kerjanya detail banget, duduk nggak bisa di kursi harus di atas karpet, bikin meja khusus, pokoknya ribet deh. Karena itu, karya mereka kecil-kecil, itu aja bikinnya berbulan-bulan, tapi kualitasnya luar biasa. Karya-karya mereka dekoratif tetapi figuratif, bagi saya semacam gabungan seni dekorasi Islam Timur Tengah dengan gaya melukis figur India tradisional. Karya-karya seperti ini juga berkembang di Persia (Iran), berdampingan dengan gaya arsitektur, dekorasi karpet, keramik, barang-barang logam, lukisan dan kerajinan kayu. Karya lukis miniatur punya sejarah yang panjang banget dan Sabeen Raja adalah seorang pelukis miniatur dengan spesialisasi gaya tradisional Kangra, Mogul dan Persia.

Tetapi, kenapa seniman yang seperti ini yang diterima di Gertrude? Pertanyaan itu tertuju ke Paris, pada tim seleksi UNESCO-Aschberg yang bekerja di awal musim panas tahun lalu. Saya selalu agak ngerasa gimana gitu kalo ada barang-barang tradisional dibawa ke pasar internasional. Saya baru aja ngobrol sama Gustaff soal rekulturisasi, yakni memberdayakan budaya masa lalu di masa kini. Untuk saya ini berbau eksotis. Kenapa kita nggak berkesempatan untuk juga menonjolkan thought dan bukan hanya talent? Kontrol ini dipegang negara-negara maju dari dulu dan perspektif yang dipakai terlalu sempit.

Nah, terus gimana? Ya, nggak gimana-gimana. Cuma kalo saya tahu kriterianya akan berbau eksotik, saya nggak perlu repot-repot daftar. Semoga hanya untuk kali ini saja. Saya masih pengen ke Gertrude, dari sekian banyak pilihan di Aschberg, itu yang paling saya inginkan. Gimana nanti aja, deh. 🙂

Application reminder

Filed under: Uncategorized — bloodyathena @ 6:51 am

Halo, sudah lama nggak nulis di sini. Untuk Anda yang berminat untuk ikut residency Aschberg dan Arcus, jangan lupa waktunya sebentar lagi:

Arcus-Project: 9 April 2005
Unesco-Aschberg: 31 April 2005

Selamat melamar dan semoga sukses!

Create a free website or blog at WordPress.com.