Blog for visual artists, art students & enthusiast

February 2, 2007

Kobe

Filed under: Artwork — bloodyathena @ 5:43 am

January 31, 2007

Wangari Maathai

Filed under: Artwork — bloodyathena @ 8:32 am

January 30, 2007

Motor

Filed under: Artwork — bloodyathena @ 11:16 am

Halo, semua! Huah, udah lama banget nggak ngeblog. Sebenernya saya nggak sibuk-sibuk banget, cuma maleuz. Hehehe… Hampir sebulan kemarin, adik saya ngasih usul untuk bikin gambar motor, soalnya dia seneng motor. Akhirnya, di kertas kecil, saya trace dua gambar motor. Ini dia. Yang atas Yamaha XS, yang bawah Piaggio Liberty punya adik saya. Oya, trims buat yang pada nulis di shoutbox saya, ya! =) Saya masih teteup ga bisa nulis nih.

October 8, 2006

Glosarium dari ArtNow

Filed under: Article — bloodyathena @ 2:16 am

Teman saya, Dame, bawa buku Art Now terbaru. Seperti biasa Art Now menampilkan beberapa foto karya seniman yang lagi hype plus sedikit tulisan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Ada banyak banget seniman yang karyanya oke-oke dan saya pikir saya bisa dapat banyak bahan tulisan untuk blog ini, tapi satu yang menarik perhatian saya adalah bagian akhir buku: glosarium.

Saya tahu, kita dengan mudah bisa Google kata-kata yang ingin kita cari, jadi tulisan ini tidak amat-sangat-pentingnya. Tapi saya pikir, kalau kamu lagi blogwalking malem-malem sambil ngopi, terus beberapa hari yang lalu kebetulan ada kuliah Kritik Seni, mungkin ada beberapa kata yang kamu ingat dan bisa kamu temukan definisi sederhananya di sini, dalam bahasa Indonesia. Posting kali ini panjang, jadi please, keep scrolling. Kalau saya sempat, mungkin bisa saya tambahin beberapa gambar yang relevan.

Anime: kartun film Jepang yang figur dan plot ceritanya benar-benar didasarkan pada komik-komik Jepang. Pada tahun 1990-an, anime dan soundtrack-nya menjadi terkenal di luar Jepang.

Appropriation Art: dalam ‘Seni Apropriasi’, obyek, gambar dan teks diangkat dari konteks kulturalnya dan ditempatkan tanpa perubahan di konteks yang baru. Dengan demikian, mereka muncul dengan signifikansi baru.

Arte Povera: gerakan seni yang dimulai di Italia pada tahun 1960an. Seniman-seniman menggunakan material ‘sederhana’ dan prinsip-prinsip desain paling sederhana, mengurangi elemen karya hingga yang benar-benar esensial saja.

Assemblage: sebuah gambar tiga-dimensi yang dibuat dari berbagai material, terutama yang digunakan sehari-hari.

Aura: cahaya yang membuat seseorang atau sebuah karya ‘dihormati’. Orang atau karya yang memiliki aura bersifat ‘jauh’ namun ‘terjangkau’ sekaligus. Orang tertarik karena keunikannya.

Autonomy: sebuah kondisi ‘swadaya’ dan ‘mandiri’. Dalam seni, otonomi berarti bebas dari tujuan-tujuan non-artistik.

Body Art: bentuk seni yang mengambil tubuh sebagai subyeknya dan membuat tubuh menjadi obyek dari performance, patung, atau video.

Camp: Orang atau obyek yang penampilannya digayakan secara berlebihan disebut camp. Kekaguman pada mereka biasanya mengundang cemooh dan pada saat yang bersamaan merupakan pemujaan emosial pada kepalsuan.

Catalogue Raisonné: katalog seorang seniman yang diberi catatan yang menerangkan bagian-bagiannya yang penting.

Cibachrome: cetak berwarna (biasanya berukuran besar) dibuat dari slide.

Club Culture: pada tahun 1990-an, club culture dibentuk oleh estetika musik techno. Bagaimanapun, itu tidak hanya terbatas pada aktivitas di lantai dansa saja namun juga menemukan ekspresinya melalui gaya hidup itu sendiri, mempengaruhi fashion, desain dan typography.

Code: Sistem tanda yang menyediakan landasan bagi komunikasi dan membuat informasi memiliki arti.

Computer Animation: model tiga-dimensi yang dihasilkan lewat komputer, bisa ‘ditembus’ atau dilihat dari berbagai perspektif oleh user; atau figur maya yang bergerak dalam layar kaca.

Computer-Generated: sesuatu yang dihasilkan oleh komputer

Conceptual Art: Conceptual Art muncul pada tahun 1960-an. Keutamaannya terletak pada ide mendasar dari sebuah karya. Hal ini sering diwujudkan semata-mata lewat bahasa (misalnya teks atau catatan). Eksekusi karya dilihat sebagai hal sekunder, bahkan kadang-kadang kurang berarti. (Lihat definisi mengenai seni konseptual oleh Sol Le Witt: “In conceptual art the idea or concept is the most important aspect of the work. When an artist uses a conceptual form of art, it means that all of the planning and decisions are made beforehand and the execution is a perfunctory affair. The idea becomes a machine that makes the art.”)

Constructivism: sebuah gerakan seni rupa pada awal abad ke-20 yang kebanyakan merangkum bahasa abstrak-formal dan mencari kemungkinan untuk meletakkan seni modern ke dalam kehidupan sehari-hari.

Context Art: mengkritik bisnis seni dan institusi-institusinya. Struktur kuasa dibongkar, mekanisme distribusi dan bentuk-bentuk pameran diteliti fungsi politisnya. Berbagai macam jenis ekspresi artistik diadopsi untuk menghadirkan kritik ini, seperti performance, instalasi dan Object Art.

C-Print: cetak warna dari film negatif.

Crossover: crossover mengacu pada perlintasan batas-batas antara seni dan budaya populer dan antara budaya-budaya yang berbeda; juga termasuk penggabungan musik, desain, folklore, dsb., di dalam sebuah kerja artistik.

Cultural Studies: sebuah tren baru dalam studi kuasi-akademik Anglo-American yang fokus pada penelitian budaya populer. Cultural Studies secara khusus memperhatikan pengaruh ras, kelas dan gender dalam ekspresi budaya.

Culture Jamming: rekonstruksi dan permainan simbol-simbol budaya seperti pesan iklan dan logo-logo perusahaan.

Curator: seorang kurator menentukan tentang apa sebuah pameran dibuat dan memilih seniman-seniman yang berpartisipasi.

Dada: sebuah gerakan seni revolusioner yang mencapai puncaknya pada tahun 1920-an, dimana kolase, performance dan pembacaan puisi-puisi nonsense-nya mempertanyakan kembali semua nilai-nilai kultural yang sudah mapan.

Deconstruction: sebuah maksud penafsiran yang tidak menganggap sebuah karya sebagai sebuah entitas yang tertutup melainkan terbuka dan saling terkoneksi dalam lapis-lapis jaringan bentuk dan isinya yang rumit dan bervariasi. Elemen-elemen ini, baik fungsi maupun kontradiksinya, dihadirkan oleh sebuah metoda dekonstruksi.

Digital Art: sebuah bentuk seni yang menggunakan media digital seperti komputer dan internet.

Documentary Art: seni seperti ini berkonsentrasi dalam memberikan (kurang-lebih) fakta dari realitas sosial yang apa adanya.

Eclecticism: sebuah jalur utama dalam postmodernism yang ditandai oleh pengutipan dari banyak sumber, kebanyakan dari gaya yang telah lampau dan karya-karya seniman lain.

Entropy: sebuah konsep yang berasal dari termodinamika yang menekankan derajat kekacauan dalam sebuah sistem tertutup. Entropi total akan terjadi bila sebuah sistem mengalami kolaps dalam kekacauan. Analoginya, bila arus informasi berita datang bertubi-tubi dalam jumlah yang luar biasa, maka yang terdengar adalah suara-suara riuh-rendah yang tidak berarti.

Environment: ruang interior maupun eksterior yang secara keseluruhan dipadukan oleh seniman yang pada akhirnya menyatukan pengamat seni dalam sebuah pengalaman estetik.

Fiction: sebuah gambar atau cerita menjadi fiksi apabila ia berlandasan pada proses penciptaan bebas.

Fluxus: sebuah gerakan seni eksperimental radikal yang memegang teguh variasi bentuk, termasuk happening, puisi, musik dan plastic arts. Sifat kesementaraannya mencabut seni dari kaidah-kaidah yang diterima institusi formal seperti museum.

Folk Art: seni tradisional dan kriya yang berasal dari daerah tertentu, terutama daerah pinggiran, atau sebuah cara hidup yang relatif tetap tidak terpengaruh oleh perkembangan gaya.

Futurism: dimulai di Italia pada tahun 1910 oleh sekelompok penulis dan seniman, gerakan Futurisme melakukan sebuah pemutusan radikal terhadap masa lampau. Gerakan ini mempromosikan bentukan-bentukan seni yang mencerminkan hidup di era modern, ditandai oleh keserempakan, dinamika dan kecepatan.

Gender Surfing: sebuah permainan seks dimana terjadi pertukaran fungsi gender yang bertujuan untuk mencampuradukkan fungsi gender yang telah ada untuk memberikan efek humor.

Gentrification: menjelaskan proses displacement dari struktur sosial ruang urban yang sudah ada. Hal ini terjadi saat, misalnya, galeri-galeri berpindah tempat ke sebuah kawasan yang sebelumnya adalah daerah perjudian dan prostitusi.

Globalisation: globalisasi terjadi saat proses ekonomi atau budaya meningkat dampaknya secara internasional.

Governmentality: diciptakan oleh Michel Foucault untuk menjelaskan cara kerja kekuasaan. Konsep ini terutama sangat penting dalam political art kontemporer (lihat: Political Art).

Happening: sebuah aksi artistik di depan publik yang secara normal melibatkan apa yang terjadi saat itu, di tempat itu.

Heterogeneity: keberagaman.

High and Low Culture (Hi’ ‘N’ Lo) : sebuah kompleks dari tema yang berkaitan dengan pengaruh trivial culture (low art) atas modern art (high culture). Konsepnya berlandasan pada sebuah pameran yang dirancang oleh Kirk Varnedoe pada tahun 1990, di Museum of Modern Art, New York.

Hybrid: terdiri dari banyak bentuk, bercampur, tak mungkin memiliki klasifikasi tunggal.

Icon: gambar atau orang yang dihormati/dipuja.

Iconography: merupakan bahasa gambar atau bentuk yang secara khusus mewakili sebuah konteks kultural tertentu; misalnya: ikonografi advertising, ikonografi Barat, ikonografi arsitektur postmodern, dsb.

Iconology: sebuah penafsiran terhadap isi dari sebuah karya, berdasarkan ikonografinya.

Ideology: mengacu pada kesadaran politik yang secara khusus dianalisa oleh Political Art (lihat: Political Art).

Immaterial Work: karya yang hasil akhirnya bukan merupakan produksi benda materi, tetapi merupakan proses dari data imaterial, gambar atau suara.

Installation: karya seni yang menyatukan ruang pamer sebagai komponen artistik.

Institutional Critisism: bentuk seni yang satu ini memperhatikan struktur dunia seni dan merefleksikannya ke dalam karya seni.

Interactive Art: karya seni yang dimaksudkan bagi partisipasi langsung penggunanya. Biasanya, partisipasi ini dimungkinkan oleh teknologi komputer.

Leipzig School: sebuah gerakan neo-konservatif dalam lukisan-lukisan figuratif, sebuah paham utama di Leipzig Academy of Visual Arts.

Location: lokasi tempat sesuatu atau sebuah pameran berlangsung.

Mainstream: gaya dominan yang menggambarkan cita-rasa publik secara umum.

Manga: komik dan film kartun, jenis bacaan paling populer di Jepang, dikonsumsi dalam jumlah besar.

Memento Mori: sebuah kejadian atau obyek yang mengingatkan pada kematian.

Micropolitics: strategi politik yang didasarkan pada intervensi yang melibatkan kelompok sosial kecil, bukannya perubahan sosial secara keseluruhan.

Minimal Art: sebuah tren seni 1960-an yang membawa lukisan atau patung kembali pada bentuk-bentuk dasar geometrik dan menempatkannya dalam sebuah relasi yang kuat dengan ruang dan pengamat.

Mixed Media: penggabungan media, material dan teknik yang berbeda dalam penciptaan karya seni.

Montage: penggabungan elemen gambar atau sekuen dalam fotografi, film dan video.

Multiple: pada tahun 1960-an, konsep klasik seni goyah. Ketimbang berdiri sendiri secara tunggal, karya seni diproduksi dalam bentuk yang lebih banyak. Maksudnya adalah untuk menarik karya-karya seni dari museum atau galeri.

Narration: pengisahan cerita dalam seni, film atau sastra.

Neo-Conceptual Art: arah artistik ini terkait dengan seni konseptual jaman 1960-an, hanya saya lebih memberikan penekanan pada narrative moment.

Neo-Concrete Art: sebuah gerakan dalam tradisi Concrete Art. Sejak tahun 1950-an, Concrete Art, seperti Abstract Art, menekankan pentingnya ‘material’.

Neo-Formalism: arah artistik kontemporer yang satu ini mengkritik dan merevisi gaya Modern.

Neo-Geo: gaya lukisan tahun 1980-an yang beroperasi secara luar-biasa obyektif dengan menggunakan pola-pola geometri dan komposisi warna.

New Age: sebuah bentuk budaya esoterik yang percaya bahwa sebuah ‘jaman baru’ dalam peradaban manusia telah dimulai.

Object Art: semua karya seni yang menggunakan obyek atau material yang tidak dibuat sendiri, atau semata-mata dikomposisi dengan menggunakan obyek atau material tersebut.

Op Art: sebuah jenis Abstract Art tahun 1960-an yang bermain dengan efek-efek optik.

Performance: karya artistik yang dipentaskan di ruang publik sebagai sebuah aksi kuasi-teatrikal. Performance pertama dilakukan pada tahun 1960-an dalam konteks gerakan Fluxus, dimaksudkan untuk memperluas konsep seni.

Phenomenology: sebuah cabang filsafat yang mengamati bagaimana realitas eksternal muncul bagi manusia.

Photorealism: lukisan atau patung hiper-realistik yang menggunakan ketajaman foto untuk menangkap rinci dari realitas.

Political Art: seni jenis ini secara eksplisit berurusan dengan wilayah persoalan politik misalnya globalisasi dan neo-liberalisme.

Political Correctness: sebuah sikap sosio-politis yang secara khusus berpengaruh di Amerika Serikat. Maksud political correctness adalah untuk mengubah bahasa publik. Syarat prinsipilnya adalah: selalu mengacu pada kaum minoritas dengan sikap tidak menghakimi.

Pop Art: strategi artistik tahun 1960-an yang mentransformasi ikonografi film, musik dan dunia komersial ke dalam bentuk seni.

Pop Culture: Pop Culture menemukan ekspresinya dalam sirkulasi massal dari benda-benda fashion, musik, sport dan film. Dunia Pop Culture memasuki dunia seni pada awal 1960-an, lewat Pop Art.

Post Human: sebuah kompleks tema yang terpusat pada pengaruh dari teknologi baru dan pengaruh masyarakat media pada tubuh manusia. “Post Human” adalah judul dari pameran yang dikurasi oleh Jeffrey Deitch, pada tahun 1992.

Post-Conceptualism: pendekatan estetik, seperti Conceptual Art tahun 1960-an, berkonsentrasi lebih pada gagasan dan konsep seni daripada bentuk-bentuk visualnya.

Postmodernism: tidak seperti Modernism, Postmodernism berawal dari asumsi bahwa utopia-utopia besar adalah mustahil. Postmodernism menerima bahwa realitas tidaklah utuh, namun terfragmentasi, dan bahwa identitas personal adalah sebuah kuantitas goyah yang dipancarkan oleh faktor budaya yang beragam. Postmodernism membela cara pandang yang ‘kurang serius’ dan ‘main-main’ atas suatu identitas dan atas sebuah masyarakat liberal (baca lebih lanjut: Utopia).

Post-Production: terminologi ini diambil dari dunia film yang menjelaskan, di atas hal-hal lain, tentang kegiatan pasca produksi dari materi visual.

Post-Structuralism: berlawanan dengan strukturalisme yang memandang sistem tanda sebagai sebuah sistem yang tertutup, Post-Structuralism beranggapan bahwa sistem tanda selalu dinamis dan terbuka terhadap perubahan (baca lebih lanjut: Utopia).

Process Art: sejak tahun 1960-an, Process Art telah mengganti konsep sebuah karya sebagai sebuah entitas yang mutlak dan mandiri, dengan sifat keberubahan dari bentuk, kolaborasi dan ketidaktuntasan dalam sebuah proses kreasi.

Production Still: foto sebuah adegan dari film atau seorang aktor dalam film, diambil oleh fotografer khusus dan digunakan untuk publikasi atau proses dokumentasi.

Projected Image: mengacu pada proyeksi citra menggunakan berbagai format dalam sebuah instalasi artistik.

Readymade: readymade adalah benda sehari-hari yang diklaim sebagai benda seni oleh seniman dan dipamerkan tanpa diubah sedikit pun. Gagasan tentang readymade berasal dari seniman Perancis, Marcel Duchamp, yang memamerkan benda readymade untuk pertama kalinya di New York pada tahun 1913.

Sampling: susunan dari materi audio atau visual dengan maksud memainkannya kembali dalam karakter asli yang telah berubah.

Scatter Art: seni instalasi yang merangkum benda sehari-hari, termasuk ‘sampah’, yang disusun secara acak di sekitar ruang pamer.

Self-Referential Art: seni yang secara khusus mengacu pada kualitas formalnya sendiri sehingga secara otomatis menolak segala gagasan mengenai pencitraan.

Semantics: sebuah studi mengenai pentingnya tanda linguistik, contohnya: makna kata-kata.

Service Economy: menjabarkan transformasi dari masyarakat industri menuju ke masyarakat post-modern, di mana aspek-aspek seperti administrasi dan pelayanan menjadi lebih penting daripada proses produksi itu sendiri.

Setting: lingkungan yang telah ada, atau yang telah diatur sedemikian rupa, yang melingkupi karya seni.

Simulacrum: citraan semu yang demikian menggodanya sehingga mampu menggantikan realitas.

Situasionism: The International Situasionists adalah sekelompok seniman yang memperkenalkan konsep ‘situasi’ dalam dunia seni pada pertengahan abad ke-20. Menurut para praktisinya, Situationism berarti mengkonstruksi situasi sementara dan mengubahnya untuk menghasilkan intensitas gairah dalam taraf yang lebih tinggi, dalam kaitannya dengan seni.

Social Work: seni di sini dimengerti sebagai sebuah bentuk pelayanan yang secara sadar menerima fungsi sosial-politik.

Stereotype: sebuah standardisasi, citra non-individual yang telah telah diterima secara umum.

Structural Film: ekspresi yang lazim digunakan sejak 1960-an di Amerika Serikat untuk menjelaskan film-film eksperimental yang menguak komposisi material dan proses fisikal dalam pembuatan film.

Structuralism: strukturalisme secara sistematis mengamati makna dari tanda-tanda. Tujuan strukturalisme adalah mengeksplorasi kaidah-kaidah dari berbagai macam sistem tanda yang berbeda. Bahasa dan bahkan berbagai macam hubungan budaya ditelaah dan ditafsirkan oleh strukturalisme sebagai sistem-sistem tanda.

Surrealism: sebuah gerakan seni yang terbentuk setelah tahun 1920-an di kalangan penulis André Breton dan pengikutnya. Fokusnya adalah Automatism atau tersendatnya kontrol kesadaran dalam penciptaan karya seni.

Terror: tema yang menjadi populer setelah 9/11.

Transcendence: dalam filsafat dan agama, transenden adalah apa yang ada di luar persepsi kemanusiaan. Dalam sebuah pengalaman transenden yang luar biasa, batas-batas kesadaran telah dilampaui.

Trash: ‘sampah’ dalam bahasa Inggris-Amerika yang mengacu pada kualitas yang berada di bawah taraf yang dianggap layak menurut norma dan kualitas estetik, dengan makna ironi.

Urbanism: tata-kota dan hidup-berkota sebagai sebuah konsep.

Utopia: mengacu pada model sosial yang disebut-sebut sebagai ‘dunia yang lebih baik’ yang sejauh ini tidak pernah terwujud. Konsep ini menjadi penting dalam political art (baca lebih lanjut: Political Art).

Video Still: gambar yang diambil dari videotape yang sedang diputar atau pemindaian dari videotape.

Viennese Actionism: bentuk seni yang didasarkan pada ritus-ritus yang haus darah dan penuh rasa sakit. Actionists sering melakukan praktek sadomasokisme dan pesta seks sebagai bagian dari serangan sistematis mereka terhadap kemunafikan moral dan religi yang nampak nyata dalam kehidupan masyarakat Austria pada awal tahun 1960-an.

Virtual Reality: dunia semu yang diciptakan oleh komputer (baca lebih lanjut: computer-generated, computer animation).

White Cube: ruang pamer yang putih dan netral yang pada era modern telah melampaui bentuk-bentuk presentasi karya gaya lama, misalnya menggantung lukisan berdekatan dengan yang lainnya di atas wallpaper berwarna. White cube dimaksudkan untuk membuat proses menikmati karya menjadi tak terganggu dan lebih terkonsentrasi.

Work-in-Progress karya yang tidak dimaksudkan untuk selesai oleh senimannya namun lebih terfokus pada proses kreatifnya.

Young British Artist (YBA): sekelompok seniman Inggris muda yang sejak awal tahun 1990-an telah menciptakan kegemparan dengan objek dan video art yang diinspirasi oleh budaya pop.

Selesai! =D

September 10, 2006

Pameran di Common Room

Filed under: Article — bloodyathena @ 1:20 pm

Karena animo masyarakat yang membludak, pameran ini diperpanjang. =D Pameran ini membawa Common Room pada keadaan paling ‘nyeni’ dan ini jadi salah satu display favorit kami. =D Bagi Anda yang belum sempat melihat dan ada waktu, silakan hadir. Nikmati pameran seni dengan presentasi ramah dan hangat di Common Room. Pameran ini menghadirkan karya-karya dari beragam seniman dengan beragam media dan cara ekspresi yang khas dari setiap seniman. Seniman-seniman yang tercatat berpartisipasi dalam pameran ini adalah:

Andar Manik, Tiarma Sirait, Gustaff H. Iskandar, R.E. Hartanto, Sir Dandy Original, Roumy Handayani Pesona, Dewi Aditia, Klab Sulam, Klab Rajut, dan Klab Origami. Pameran ini juga menampilkan kompilasi video yang menghadirkan karya dari New Zealand, Austria, Denmark, Bandung, dan Jakarta. Pameran ini menampilkan karya-karya dalam media charcoal dan akrilik di atas kanvas; charcoal dan akrilik di atas kertas, tinta cina di atas kertas; digital print; fotografi; kolase gambar; instalasi; obyek, dan video. Menurut saya, keberagaman inilah yang paling menarik. Silakan lihat-lihat kumpulan foto hasil dokumentasi kami, dan hadirlah bila sempat. Dijamin nggak nyesel! =)





Satu hal yang perlu dicatat, dalam pameran ini terdapat gambar-gambar vulgar yang hanya bisa dinikmati orang dewasa. Pengunjung berusia di bawah 17 tahun harus didampingi orangtuanya. =) Kami sudah pasang pengumuman di pintu Common Room dan semua orang bisa lihat. Untuk yang berminat nonton, silakan kunjungi Common Room: Jl. Kyai Gede Utama 8, Bandung – 40132. Informasi lebih lanjut: hubungi Mbak Nunung di (022) 70.800.620. Kunjungi pula website Common Room untuk mengetahui informasi lebih jauh mengenai kegiatan-kegiatannya. Selamat menikmati Seni Bandung Masa Kini 2006. =)

September 5, 2006

Masa Lalu Masa Lupa #3

Filed under: Article — bloodyathena @ 5:56 am

Saya baru aja pulang dari acara pameran “Masa Lalu Masa Lupa #3” di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Pameran ini adalah bagian dari program ‘Matahariku Mataharimu’, sebuah kurasi yang dibuat oleh Rumah Seni Cemeti melibatkan empat seniman dari (masing-masing) kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Pameran dari Bandung diikuti oleh: Sunaryo, Tisna Sanjaya, Prilla Tania, dan saya sendiri. Selain pameran, kegiatan ini juga mencakup workshop, presentasi dan diskusi. Pameran ini berlangsung dari tanggal 3 sampai 24 September 2006. Untuk yang mau datang berkunjung, Rumah Seni Cemeti buka setiap hari kecuali Senin, jam kerja.

Kurasi pameran ini bertemakan sejarah. Pemilihan 4 orang seniman dari setiap kota dibagi berdasarkan ‘generasi’, dari yang senior sampai junior. Tema pameran ini memang ‘agak mengerikan’ luasnya, demikian komentar Alia, salah seorang kurator Rumah Seni Cemeti, namun pameran ini bertujuan untuk melihat bagaimana setiap seniman dari setiap generasi mempersepsi sejarah menurut pemahamannya sendiri-sendiri. Di bawah ini adalah thumbnail dari dokumentasi pameran yang dibuat tim Bandung. Silakan klik setiap gambar untuk melihat gambar yang lebih besar (1024 x 768 pixel).

Suasana ruang pamer. Ruang galeri yang berbentuk nyaris persegi asimetrik diisi oleh karya keempat seniman. Sunaryo menampilkan empat judul karya instalasi yang merespon ruangan galeri. Tisna menempelkan plat tembaga dan hasil cetakan yang berbentuk lingkaran dengan pola ‘yin-yang’, kemudian menyusunnya di salah satu dinding. Prilla menjahitkan benang putih di atas kain hitam dan membentuk obyek-obyek tertentu. Kain dengan ukuran 100 x 400 cm ini dibentang dengan menggunakan rangka dan digantung sedikit menjauh dari dinding. Saya membuat lightbox berukuran 30 x 1080 cm yang terdiri dari 9 modul berukuran 30 x 120 x 9 cm yang berisi obyek-obyek dalam lab robot teman saya dalam bentuk digital print. Berikut adalah thumbnail dari karya setiap seniman plus sedikit tulisan, diurut berdasarkan abjad.

“History, Fact or Fiction?”, kain dan benang, 100x400cm, Prilla Tania 2006. Prilla membentang kain hitam berukuran 100×400 cm dan menjahitkan outline dari berbagai macam obyek mulai dari T-Rex, manusia purba yang sedang berburu, Asterix, Obelix, Idefix, Alien, dsb. Sesuai judulnya, Prilla mencampurkan obyek-obyek nyata dan fiksi dalam satu bidang karya yang mirip diorama, menyatakan keraguannya terhadap obyektifitas sejarah.

“Construzione di Storia”, 30x120x9cm (9 modul: 30x1080x9cm), R.E. Hartanto 2006. Karya saya melihat sejarah sebagai sebuah konstruksi dan saya menggunakan lab robot teman saya sebagai metafornya. Dalam artist talk yang diselenggarakan 30 menit setelah pembukaan, saya menjelaskan bagaimana teman saya dan timnya bekerja berbulan-bulan mempersiapkan robot cerdas pemadam api untuk kompetisi yang diadakan setiap tahun. Dalam kompetisi tahun ini mereka tidak masuk peringkat 3 besar, namun orang-orang yang sama akhirnya membentuk Klab Robot Bandung, mengadakan kompetisi serupa untuk skala kota Bandung, dan melakukan regenerasi untuk kompetisi tahun depan di Surabaya. Proses yang mereka lakukan secara makro bagi saya adalah sebuah konstruksi sejarah mikro. Karya saya menampilkan gambar salinan dari artefak-artefak yang dihasilkan dalam proses tersebut. Karya ini sebenarnya dibuat di atas kertas putih menggunakan tinta Cina, lalu dibuat foto digital dan dibuat digital print untuk kemudian disusun menjadi lightbox yang mengisi satu bidang sepanjang hampir 11 meter.


Karya Sunaryo adalah yang paling kompleks, meliputi empat buah karya instalasi yang masing-masing berjudul: “Palaeolithicontempo” (gambar 1 sampai 4); “Bila Antareja Terusik” (gambar 5 dan 6); “Seribu Luka” (gambar 7); dan “Bila Pendulum Bergoyang” (gambar 8). Dalam “Palaelolithicontempo”, Sunaryo mengumpulkan bebatuan peninggalan purbakala yang dipakai orang purba di Jawa untuk bertahan hidup dan menyusunnya dalam sebuah display, berdampingan dengan batu-batu yang dikumpulkan dari masa kini, yang bisa dipakai untuk aksi-aksi anarkis. “Bila Antareja Terusik” dengan jelas merespon tema bencana gempa yang akhir-akhir ini melanda. Sebuah batu besar ditancap keris dan lumpur dari Kebumen yang disebarkan di lantai membentuk bidang hampir setengah lingkaran, diberi garis seperti gelombang kejut, berpusat pada batu besar tersebut. Dua karya Sunaryo yang lain, “Bila Pendulum Bergoyang” dan “Seribu Luka” menggunakan batu dan kaca sebagai medium, menampilkan simbol kekuatan dan kerapuhan dalam waktu yang bersamaan. Karya-karya Sunaryo merespon tema kurasi sekaligus kondisi sosial yang terjadi di sekeliling kita akhir-akhir ini. Bukan hanya menggarap karya pribadi, Sunaryo juga membungkus kolom galeri dengan kain hitam (dan tiga buah kolom di depan pintu muka galeri dengan kain hitam dan putih) dengan maksud mengekspresikan keprihatinannya terhadap situasi sosial terkini. Proses pembungkusan ini dilakukan setelah semua seniman lain dari Bandung menyatakan kesetujuannya.

“Lingkaran Sejarah Gelap”, etsa di atas tembaga, d. 100 cm, Tisna Sanjaya, 2006. Tisna Sanjaya memotong plat tembaga berdiameter 100 cm menjadi lengkungan ‘yin-yang’ dan menggambarkan begitu banyak obyek, simbol, dan teks dalam komposisi yang sangat rumit. Butuh jarak yang sangat dekat untuk bisa melihat bagaimana elemen-elemen visual tersebut disusun menjadi sebuah narasi tertentu. Dalam artist talk, Tisna menjelaskan bagaimana kepalanya dipenuhi oleh begitu banyak stimuli dari surat kabar, televisi, majalah, dan bagaimana usahanya untuk melepaskan begitu banyak referensi tersebut ketika mulai berkarya di studionya, di ruang asam. Proses pembuatan karya Tisna senantiasa intuitif, tangannya bergerak sesuai dengan gerak pikirannya pada saat berkarya. Menggunakan media etsa di atas tembaga, Tisna meluapkan ekspresinya dengan aspal dan cairan asam. Walaupun berkarya dengan begitu banyak simbol, Tisna tidak pernah menggunakan simbol ‘yin-yang’ sekuat ini sebelumnya. Pemilihan simbol ini bukannya disengaja, sebenarnya, namun lebih karena alasan teknis. Mesin cetak yang digunakannya tidak mampu memuat plat dengan diameter 100 cm, maka Tisna pun memotong plat tersebut supaya masuk ke dalam mesin cetaknya. Namun dalam proses berkarya, demikian ia bertutur, simbol ini menstimulasi dirinya begitu kuat sehingga ia banyak melakukan perenungan ke dalam. “Masa lalu, hari ini, esok hari, sama saja.” tutur Tisna dalam sebuah diskusi pra-pameran. Walaupun jelas karyanya bereaksi terhadap berbagai masalah sosial-politik di sekitarnya, Tisna seolah-olah menyatakan hal itu sebagai sesuatu yang ‘wajar’. Tirani dan penghisapan tidak berubah dari dulu sampai sekarang… Dalam artist talk, Tisna membacakan sebuah puisi dari Bertolt Brecht, seorang film-maker dan penyair dari Jerman, tentang ‘jaman yang gelap’.

Selain karya-karya ini, pameran ini juga memiliki sebuah pengantar berupa tulisan yang dibuat oleh Agung Hujatnikajennong. Tulisan ini ditampilkan dalam leaflet dan ditaruh di dinding sebagai walltext. Tulisan berjudul “Sejarah-Imajinasi-Seni” ini tidak membahas karya-karya yang ditampilkan namun lebih merespon gagasan tentang sejarah itu sendiri. Saya kebetulan belum sempat minta ijin yang bersangkutan untuk menampilkan tulisannya di sini. Nanti kalau sudah dapat ijin, mungkin bisa saya tampilkan, tulisannya nggak terlalu panjang.

Yah, demikianlah review singkat dari pameran “Masa Lalu Masa Lupa #3”. =) Buat yang kebetulan bisa datang dan melihat langsung, pameran ini masih akan berlangsung sampai tanggal 24 September 2006. Buat yang nggak bisa melihat langsung, semoga tulisan ini bisa membantu. Tapi ini versi saya, lho. Semoga ada versi yang lain. Terima kasih.

August 17, 2006

Potret diri sebagai monster

Filed under: Artwork — bloodyathena @ 10:33 am

August 16, 2006

Louise Bourgeois

Filed under: Article — bloodyathena @ 4:38 pm

Louise Bourgeois lahir di Paris, 25 Desember 1911. Ia adalah seorang seniman dan pematung, yang karyanya sangat dipengaruhi oleh aliran Surealisme. Orangtuanya bekerja membuat dan memperbaiki tapestry. Louise belajar matematika di Sorbonne pada usia 15 tahun dan studi geometri yang pernah dipelajarinya memberi kontribusi pada karya-karya pertamanya yang kubistis (pada karya-karya lukisan dan gambar). Merasa tak menemukan apa yang dicarinya, ia mulai dengan melukis di beberapa sekolah termasuk École des Beaux-Arts, dan bekerja sebagai asisten Fernand Léger, seniman dan filmmaker terkemuka dari Perancis. Pada tahun 1938, Louise pindah ke New York bersama suaminya dan tinggal di sana hingga saat ini.

Karya-karyanya kadang-kadang abstrak dan ia berbicara dengan idiom tersebut dalam pengertian simbolik. Fokus utamanya adalah relationship, ia mempertimbangkan relasi suatu entitas dengan lingkungan sekelilingnya. Louise mendapatkan inspirasi dari masa kecilnya: ayahnya yang cabul, yang memiliki affair dengan induk semangnya, dan ibunya, yang tak mau mengakui bahwa hal itu terjadi. Ia mengakui ia memiliki kepribadian yang mirip dengan ayahnya.

Louise Borgeois sangat efektif dalam mengekspresikan perasaan seperti rasa marah, pengkhianatan dan kecemburuan. Pamerannya yang pertama, pada tahun 1947, menampilkan karya berwujud terowongan dan patung-patung kayu (seperti The Winged Figure, 1948). Walaupun pameran pertamanya sukses (salah satu karyanya dikoleksi oleh The Museum of Modern Art), ia tidak dilirik pasar seni rupa sampai tahun 1950 dan 1960-an. Pada tahun 1970-an, sesudah kematian suami dan ayahnya, Louise menjadi seniman sukses. Dalam berkarya, ia menggunakan berbagai macam medium termasuk karet, kayu, batu, logam dan, sebagai seseorang yang besar dari keluarga pembuat tapestry, kain.

Beberapa karyanya memiliki unsur erotis dan menggambarkan seksualitas dengan motif “culums” (ia menamai figur-figur bundar demikian karena hal itu mengingatkannya pada awan kumulus). Karyanya yang paling terkenal barangkali adalah struktur laba-laba, Maman, yang telah dibuat selama 12 tahun terakhir. Kini, ia terus berkarya dan menikmati karir yang panjang. Pada tahun 1993, ia mewakili Amerika Serikat di Venice Biennale. Pada tahun 1999, Louise menjadi seniman pertama yang mendapatkan commission work dari Unilever dan menampilkan karyanya di The Turbine Hall di Tate Modern, London.

August 13, 2006

Ron Mueck

Filed under: Article — bloodyathena @ 9:01 am

“I never made life-size figures because it never seemed to be interesting. We meet life-size people every day.” _Ron Mueck

Gara-gara seneng sama karya Jane Alexander, “The Butcher Boys”, saya jadi inget karya Ron Mueck yang memukau karena bagus banget sekaligus agak mengerikan. Ini artikel dari Wikipedia yang saya terjemahkan cepat. Ron Mueck (lahir 1958) adalah seorang pematung hyperrealist kelahiran Melbourne, Australia yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja di Inggris. Karir yang ditekuni pada awalnya adalah membuat model dan boneka untuk program televisi dan film anak-anak. Dia tercatat terlibat dalam pembuatan film “Labyrinth” di mana ia juga mengisi suara untuk karakter Ludo.


“Dead Dad”, Royal Academy of Arts, London, 1997

Mueck pindah untuk membuat perusahaannya sendiri di London, membuat properti yang photo-realistic dan animatronics (robot yang digerakkan dengan mekanisme elektronik sehingga bisa teranimasi seperti hidup) untuk industri periklanan. Walaupun dibuat dengan begitu rinci, properti-properti tersebut dirancang untuk difoto dari satu sudut saja dengan menyembunyikan konstruksi yang berantakan yang ada di sisi lain. Mueck segera berambisi untuk membuat patung realistik yang nampak sempurna dari semua sudut.


“Boy”, Venice Biennale, Italy, 2001

Tanpa pendidikan formal, Mueck mengambil jalur seni rupa pada tahun 1996, berkolaborasi dengan ibu mertuanya, Paula Rego. Mueck bertugas membuat beberapa patung kecil sebagai bagian dari diorama yang dipamerkan Paula di Hayward Gallery. Paula kemudian memperkenalkan Mueck pada Charles Saatchi yang seketika terkesan lalu mengkoleksi dan memesan karya-karyanya. Hal ini menghantarkan lahirnya sebuah karya yang melambungkan namanya, “Dead Dad”, yang dimasukkan dalam pameran kontroversial: “The Sensation”, setahun kemudian. “Dead Dad” adalah karya yang agak menakutkan, sebuah patung silikon mix-media berwujud mayat ayahnya sendiri dengan ukuran dua pertiga aslinya. Hanya pada karya inilah Mueck menggunakan rambut aslinya untuk melengkapi karya patungnya.


“Pregnant Woman”, National Gallery, London, 2003

Karya-karya patung Ron Mueck mereproduksi semua rinci sampai yang paling kecil dari tubuh manusia (termasuk semua jenis rambut halus) namun memainkan skala untuk menghasilkan citraan visual yang aneh dan mengganggu. Mueck tidak pernah membuat patung manusia dalam ukuran ‘asli’. Karya patung setinggi 5 meter, “Boy”, dipamerkan di Millenium Dome, London, untuk kemudian ditampilkan dalam Venice Biennale 2001. Pada tahun 2003, karyanya yang berjudul “Pregnant Woman” dikoleksi oleh Galeri Nasional Australia, Canberra, seharga kurang lebih 4 milyar rupiah. Karya ini dibuat selama 3 bulan, selama Mueck menjalani program residency di Galeri Nasional London. Informasi lebih lanjut mengenai pembuatan karya “Pregnant Woman” bisa dilihat di sini.

“There’s no denying that I have more information readily at hand when I have a live model. Even when I have had a model, however, what I have to do in the end is to consciously abandon the model and go for what feels right.” _Ron Mueck. Artist’s quotes taken from Sarah Tanguy, ‘A conversation with Ron Mueck’ in Sculpture Magazine, vol.22, no.6, July/August 2003

August 5, 2006

Jane Alexander

Filed under: Article — bloodyathena @ 5:20 am

“The Butcher Boys”
Plaster, bone, horn, oil paint, wood
128.5 x 213.5 x 88.5 cm, 1985-1986
Jane Alexander

Alexander menciptakan the Butcher Boys pada tahun 1985-1986, bersamaan dengan penyelesaian karya untuk meraih gelar Master di Universitas Witwatersrand, Johannesburg, Afrika Selatan. Meraih pengakuan pada Venice Biennale 1995, karyanya dipuji karena kritiknya yang tajam namun elegan terhadap dampak politik apartheid di Afrika Selatan. Dengan peniruan sempurna anatomi tubuh manusia, Alexander menciptakan karya yang bisa ditafsirkan oleh siapa saja, sementara siapa saja yang mengamati lebih jauh akan mampu memahami pesannya. Tubuh-tubuh dalam karya Alexander, yang disebut-sebut sebagai monster dalam bentuk manusia, merupakan simbol dari masyarakat yang berubah karena dipengaruhi oleh represi sosial yang disebabkan oleh politik apartheid. Kombinasi dari wujud manusia dan bagian-bagian hewani dalam karya ini, termasuk kuku, tulang dan tanduk yang patah, menggambarkan ambivalensi sifat manusia yang menjijikkan dan agresif, namun lemah dan mudah terluka di saat yang bersamaan. Kehewanian dalam figur-figur ini mengeksternalisasi sifat dasar, kedalaman instingtif psikologi manusia. Wajah-wajah yang tak bermulut membuat sebuah persilangan antara monster dan manusia. Karya-karya ini menolak identitas yang spesifik (yang artinya bisa merujuk pada siapa saja, termasuk masyarakat kita sendiri). The Butcher Boys memberi kita contoh sebuah masyarakat dimana kebijakan dan realisasi kebijakan tersebut telah merubah masyarakat dan mengekspos naluri binatang dan rasa takut. Karya ini dikoleksi oleh South African National Gallery. Foto oleh: Mark Lewis. Tulisan ini adalah terjemahan cepat dari sebuah artikel di The Legacy Project.

Next Page »

Blog at WordPress.com.