Blog for visual artists, art students & enthusiast

September 10, 2006

Pameran di Common Room

Filed under: Article — bloodyathena @ 1:20 pm

Karena animo masyarakat yang membludak, pameran ini diperpanjang. =D Pameran ini membawa Common Room pada keadaan paling ‘nyeni’ dan ini jadi salah satu display favorit kami. =D Bagi Anda yang belum sempat melihat dan ada waktu, silakan hadir. Nikmati pameran seni dengan presentasi ramah dan hangat di Common Room. Pameran ini menghadirkan karya-karya dari beragam seniman dengan beragam media dan cara ekspresi yang khas dari setiap seniman. Seniman-seniman yang tercatat berpartisipasi dalam pameran ini adalah:

Andar Manik, Tiarma Sirait, Gustaff H. Iskandar, R.E. Hartanto, Sir Dandy Original, Roumy Handayani Pesona, Dewi Aditia, Klab Sulam, Klab Rajut, dan Klab Origami. Pameran ini juga menampilkan kompilasi video yang menghadirkan karya dari New Zealand, Austria, Denmark, Bandung, dan Jakarta. Pameran ini menampilkan karya-karya dalam media charcoal dan akrilik di atas kanvas; charcoal dan akrilik di atas kertas, tinta cina di atas kertas; digital print; fotografi; kolase gambar; instalasi; obyek, dan video. Menurut saya, keberagaman inilah yang paling menarik. Silakan lihat-lihat kumpulan foto hasil dokumentasi kami, dan hadirlah bila sempat. Dijamin nggak nyesel! =)





Satu hal yang perlu dicatat, dalam pameran ini terdapat gambar-gambar vulgar yang hanya bisa dinikmati orang dewasa. Pengunjung berusia di bawah 17 tahun harus didampingi orangtuanya. =) Kami sudah pasang pengumuman di pintu Common Room dan semua orang bisa lihat. Untuk yang berminat nonton, silakan kunjungi Common Room: Jl. Kyai Gede Utama 8, Bandung – 40132. Informasi lebih lanjut: hubungi Mbak Nunung di (022) 70.800.620. Kunjungi pula website Common Room untuk mengetahui informasi lebih jauh mengenai kegiatan-kegiatannya. Selamat menikmati Seni Bandung Masa Kini 2006. =)

September 5, 2006

Masa Lalu Masa Lupa #3

Filed under: Article — bloodyathena @ 5:56 am

Saya baru aja pulang dari acara pameran “Masa Lalu Masa Lupa #3” di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Pameran ini adalah bagian dari program ‘Matahariku Mataharimu’, sebuah kurasi yang dibuat oleh Rumah Seni Cemeti melibatkan empat seniman dari (masing-masing) kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Pameran dari Bandung diikuti oleh: Sunaryo, Tisna Sanjaya, Prilla Tania, dan saya sendiri. Selain pameran, kegiatan ini juga mencakup workshop, presentasi dan diskusi. Pameran ini berlangsung dari tanggal 3 sampai 24 September 2006. Untuk yang mau datang berkunjung, Rumah Seni Cemeti buka setiap hari kecuali Senin, jam kerja.

Kurasi pameran ini bertemakan sejarah. Pemilihan 4 orang seniman dari setiap kota dibagi berdasarkan ‘generasi’, dari yang senior sampai junior. Tema pameran ini memang ‘agak mengerikan’ luasnya, demikian komentar Alia, salah seorang kurator Rumah Seni Cemeti, namun pameran ini bertujuan untuk melihat bagaimana setiap seniman dari setiap generasi mempersepsi sejarah menurut pemahamannya sendiri-sendiri. Di bawah ini adalah thumbnail dari dokumentasi pameran yang dibuat tim Bandung. Silakan klik setiap gambar untuk melihat gambar yang lebih besar (1024 x 768 pixel).

Suasana ruang pamer. Ruang galeri yang berbentuk nyaris persegi asimetrik diisi oleh karya keempat seniman. Sunaryo menampilkan empat judul karya instalasi yang merespon ruangan galeri. Tisna menempelkan plat tembaga dan hasil cetakan yang berbentuk lingkaran dengan pola ‘yin-yang’, kemudian menyusunnya di salah satu dinding. Prilla menjahitkan benang putih di atas kain hitam dan membentuk obyek-obyek tertentu. Kain dengan ukuran 100 x 400 cm ini dibentang dengan menggunakan rangka dan digantung sedikit menjauh dari dinding. Saya membuat lightbox berukuran 30 x 1080 cm yang terdiri dari 9 modul berukuran 30 x 120 x 9 cm yang berisi obyek-obyek dalam lab robot teman saya dalam bentuk digital print. Berikut adalah thumbnail dari karya setiap seniman plus sedikit tulisan, diurut berdasarkan abjad.

“History, Fact or Fiction?”, kain dan benang, 100x400cm, Prilla Tania 2006. Prilla membentang kain hitam berukuran 100×400 cm dan menjahitkan outline dari berbagai macam obyek mulai dari T-Rex, manusia purba yang sedang berburu, Asterix, Obelix, Idefix, Alien, dsb. Sesuai judulnya, Prilla mencampurkan obyek-obyek nyata dan fiksi dalam satu bidang karya yang mirip diorama, menyatakan keraguannya terhadap obyektifitas sejarah.

“Construzione di Storia”, 30x120x9cm (9 modul: 30x1080x9cm), R.E. Hartanto 2006. Karya saya melihat sejarah sebagai sebuah konstruksi dan saya menggunakan lab robot teman saya sebagai metafornya. Dalam artist talk yang diselenggarakan 30 menit setelah pembukaan, saya menjelaskan bagaimana teman saya dan timnya bekerja berbulan-bulan mempersiapkan robot cerdas pemadam api untuk kompetisi yang diadakan setiap tahun. Dalam kompetisi tahun ini mereka tidak masuk peringkat 3 besar, namun orang-orang yang sama akhirnya membentuk Klab Robot Bandung, mengadakan kompetisi serupa untuk skala kota Bandung, dan melakukan regenerasi untuk kompetisi tahun depan di Surabaya. Proses yang mereka lakukan secara makro bagi saya adalah sebuah konstruksi sejarah mikro. Karya saya menampilkan gambar salinan dari artefak-artefak yang dihasilkan dalam proses tersebut. Karya ini sebenarnya dibuat di atas kertas putih menggunakan tinta Cina, lalu dibuat foto digital dan dibuat digital print untuk kemudian disusun menjadi lightbox yang mengisi satu bidang sepanjang hampir 11 meter.


Karya Sunaryo adalah yang paling kompleks, meliputi empat buah karya instalasi yang masing-masing berjudul: “Palaeolithicontempo” (gambar 1 sampai 4); “Bila Antareja Terusik” (gambar 5 dan 6); “Seribu Luka” (gambar 7); dan “Bila Pendulum Bergoyang” (gambar 8). Dalam “Palaelolithicontempo”, Sunaryo mengumpulkan bebatuan peninggalan purbakala yang dipakai orang purba di Jawa untuk bertahan hidup dan menyusunnya dalam sebuah display, berdampingan dengan batu-batu yang dikumpulkan dari masa kini, yang bisa dipakai untuk aksi-aksi anarkis. “Bila Antareja Terusik” dengan jelas merespon tema bencana gempa yang akhir-akhir ini melanda. Sebuah batu besar ditancap keris dan lumpur dari Kebumen yang disebarkan di lantai membentuk bidang hampir setengah lingkaran, diberi garis seperti gelombang kejut, berpusat pada batu besar tersebut. Dua karya Sunaryo yang lain, “Bila Pendulum Bergoyang” dan “Seribu Luka” menggunakan batu dan kaca sebagai medium, menampilkan simbol kekuatan dan kerapuhan dalam waktu yang bersamaan. Karya-karya Sunaryo merespon tema kurasi sekaligus kondisi sosial yang terjadi di sekeliling kita akhir-akhir ini. Bukan hanya menggarap karya pribadi, Sunaryo juga membungkus kolom galeri dengan kain hitam (dan tiga buah kolom di depan pintu muka galeri dengan kain hitam dan putih) dengan maksud mengekspresikan keprihatinannya terhadap situasi sosial terkini. Proses pembungkusan ini dilakukan setelah semua seniman lain dari Bandung menyatakan kesetujuannya.

“Lingkaran Sejarah Gelap”, etsa di atas tembaga, d. 100 cm, Tisna Sanjaya, 2006. Tisna Sanjaya memotong plat tembaga berdiameter 100 cm menjadi lengkungan ‘yin-yang’ dan menggambarkan begitu banyak obyek, simbol, dan teks dalam komposisi yang sangat rumit. Butuh jarak yang sangat dekat untuk bisa melihat bagaimana elemen-elemen visual tersebut disusun menjadi sebuah narasi tertentu. Dalam artist talk, Tisna menjelaskan bagaimana kepalanya dipenuhi oleh begitu banyak stimuli dari surat kabar, televisi, majalah, dan bagaimana usahanya untuk melepaskan begitu banyak referensi tersebut ketika mulai berkarya di studionya, di ruang asam. Proses pembuatan karya Tisna senantiasa intuitif, tangannya bergerak sesuai dengan gerak pikirannya pada saat berkarya. Menggunakan media etsa di atas tembaga, Tisna meluapkan ekspresinya dengan aspal dan cairan asam. Walaupun berkarya dengan begitu banyak simbol, Tisna tidak pernah menggunakan simbol ‘yin-yang’ sekuat ini sebelumnya. Pemilihan simbol ini bukannya disengaja, sebenarnya, namun lebih karena alasan teknis. Mesin cetak yang digunakannya tidak mampu memuat plat dengan diameter 100 cm, maka Tisna pun memotong plat tersebut supaya masuk ke dalam mesin cetaknya. Namun dalam proses berkarya, demikian ia bertutur, simbol ini menstimulasi dirinya begitu kuat sehingga ia banyak melakukan perenungan ke dalam. “Masa lalu, hari ini, esok hari, sama saja.” tutur Tisna dalam sebuah diskusi pra-pameran. Walaupun jelas karyanya bereaksi terhadap berbagai masalah sosial-politik di sekitarnya, Tisna seolah-olah menyatakan hal itu sebagai sesuatu yang ‘wajar’. Tirani dan penghisapan tidak berubah dari dulu sampai sekarang… Dalam artist talk, Tisna membacakan sebuah puisi dari Bertolt Brecht, seorang film-maker dan penyair dari Jerman, tentang ‘jaman yang gelap’.

Selain karya-karya ini, pameran ini juga memiliki sebuah pengantar berupa tulisan yang dibuat oleh Agung Hujatnikajennong. Tulisan ini ditampilkan dalam leaflet dan ditaruh di dinding sebagai walltext. Tulisan berjudul “Sejarah-Imajinasi-Seni” ini tidak membahas karya-karya yang ditampilkan namun lebih merespon gagasan tentang sejarah itu sendiri. Saya kebetulan belum sempat minta ijin yang bersangkutan untuk menampilkan tulisannya di sini. Nanti kalau sudah dapat ijin, mungkin bisa saya tampilkan, tulisannya nggak terlalu panjang.

Yah, demikianlah review singkat dari pameran “Masa Lalu Masa Lupa #3”. =) Buat yang kebetulan bisa datang dan melihat langsung, pameran ini masih akan berlangsung sampai tanggal 24 September 2006. Buat yang nggak bisa melihat langsung, semoga tulisan ini bisa membantu. Tapi ini versi saya, lho. Semoga ada versi yang lain. Terima kasih.

Create a free website or blog at WordPress.com.